Wanita dalam Budaya Jawa
I.
PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan
makhluknya yaitu laki-laki dan perempuan dengan posisi yang sama, namun
pemahaman tentang kewanitaan selalu menarik perhatian, bukan karena keanggunan
dan kelemah lembutannya yang menawan, tetapi
karena perlakuan terhadap dirinya tidak menempatkannya sebagai sesama
ciptaan. Hampir disetiap panjang sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan
bangsa apapun, pada tingkat kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan
sebagai insan kelas dua.
Wanita sebagai
hamba Allah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tanpanya, kehidupan
tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru.
Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah
terhenti beribu – ribu abad yang lalu.
Oleh sebab itu, wanita tidak bisa
diremehkan dan di abaikan, karena dibalik
semua keberhasilan dan kontinuitas kehidupan, di
situ ada wanita.
Menjadi perempuan atau wanita di
“bumi manusia” ini secara umum cukup menggemaskan. Padahal menjadi wanita atau
laki-laki bukanlah sebuah pilihan, melainkan dititiskan oleh tuhan tanpa campur
tangan umatnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi wanita ?
2. Bagaimana karakteristik wanita Jawa ?
3. Bagaimana peranan wanita Jawa ?
4. Bagaimana ciri kekuasaan wanita Jawa
?
III.
PEMBAHASAN
1. Definisi Wanita
Wanita adalah perempuan
dewasa,kaum.[1] Wanita adalah perempuan
dewasa.[2] Dalam
masyarakat jawa wanita berasal dari kata
wani yang berarti berani, dan ditata yaitu diatur. Wanita
adalah sosok yang berani ditata atau diatur . Jadi wanita adalah sosok yang
selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia berani ditata
atau diatur.
Menurut ahli filsafat UGM
Damardjati Supadjar mengungkapkan bahwa wanita berasal dari kata wani
yaitu berani tapa yaitu menderita. Artinya wanita adalah sosok yang
berani menderita bahkan untuk orang lain.
Pada dasarnya wanita
dalam pengertian perempuan dewasa merupakan sosok yang mampu menyelesaikan
masalahnya, mampu berfikir logis, juga siap dengan tugas-tugas sebaimana
seorang wanita pada umumnya. Wanita bukan lagi seorang perempuan sebagaimana
sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun wanita disini telah mempunyai tanggung
jawab penuh terhadap tugas-tugas yang di embannya yang mana nanti akan menuju
pada kodratnya yaitu sebagai ibu rumah tangga.
Keluarga dan masyarakat Jawa mempunyai pandangan dan harapan yang berbeda
pada anak laki-laki dan perempuan. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan
masyarakat dan pengasuhan orang tua yang telah mereka tanamkan sejak mereka
bayi. Bahkan hal ini menjadi sangat kuat di bidang prioritas pendidikan yang
lebih tinggi, dengan anggapan anak laki-laki kelak akan mendapatkan pekerjaan,
peran dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan kelak akan mengasuh
dan mengurus rumah tangga (Goode, 1997). Hal yang senada juga dikatakan oleh De
Jong (1976) yang menuturkan bahwa seperti layaknya dalam keluarga Jawa, lingkungan
keluarga dan masyarakat juga lebih memprioritaskan kesempatan dan fasilitas
bagi anak laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya daripada anak perempuanya.[3]
2. Karakteristik wanita Jawa
Secara fisis dan
biologis, seorang wanita diciptakan untuk tujuan-tujuan ”menciptakan” dalam kehidupan. Mau atau tidak mau ia dituntut untuk
memenuhi kecendrungan itu. Alexis Carrel, seorang fisiolog, biolog, dan ahli
bedah terkenal, dalam bukunya yang berjudul “Man the Unknow”,
mengatakan bahwa perbedaan antara pria dan wanita bukan hanya terletak pada
bentuk kelamin masing-masing, bukan hanya karena adanya uterus kehamilan, dan
bukan pula karena modus pendidikan. Perbedaaan itu lebih fundamental sifatnya,
yakni karena adanya susunan jaringan – jaringan dan perbedaan dalam pengisian
seluruh organisme dengan zat-zat kimia yang diserap oleh indung telur. Setiap
butir sel tubuh wanita mengandung cirri jenis kelaminnya. Demikian pula dengan
organ-organ tubuh wanita, terutama system sarafnya.
Alam telah menganugerahi wanita dengan kecantikan,
keanggunan, sikap acuh tak acuh, Disamping
watak lebih membutuhkan, mencintai, dan merayu pria. Kelemahan fisik wanita
konsekuensi dari kekuatan perasaannya diserasikan dengan kekuatan fisik pria
yang karenanya pria berwatak melindungi dan selalu mengambil inisiatif dalam
melamar wanita. [4]
Sebenarnya karakteristik yang mendasar dari wanita Jawa
tidak jauh berbeda dengan wanita pada umumnya, hanya terletak pada nilai-nilai
budaya, adat istiadat, dan norma yang ada di masyarakat
Jawa. Wanita diciptakan
sesuai kodratnya. Demikian juga, wanita Jawa lebih cenderung ngayomi,
lugu,kalem, dan berkarismatik
dalam gerak-geriknya. Dia
juga sebagai pembimbing, secara psikologis, ia akan mewariskan kemampuan-kemampuannya kepada anak -anaknya.
Karena dalam hal ini, jiwa wanita Jawa lebih sensitif, lebih dominan dalam
kasih sayang, belas kasihan, murah hati, dan berbagai perasaan lain berkenaan
dengan aspek perasaannya.
Seperti juga karakter laki-laki, karakter wanita
Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang,
diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai
keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, pengendalian diri
tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara
ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi.
Terutama di daerah pedesaan, banyak ditemukan
wanita Jawa yang selain mempunyai ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik
yang kuat. Mereka terbiasa bekerja keras secara fisik, misalnya mencari rumput
untuk pakan ternak (ngarit), memanggul padi hasil panen, atau menggendong dodolan
(barang – barang dagangan) dan masih harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya,
wanita Jawa mempunyai kebiasaan untuk bangun paling pagi dan tidur paling
akhir, sementara sepanjang hari mengurus rumah. Meski tetap harus berjualan di
pasar, ia masih juga menyiapkan makan untuk suami dan anak-anaknya. Jarang
ditemukan wanita Jawa yang manja dan tidak mau bekerja. Seorang wanita Jawa dapat menerima segala
situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan dan pintar pula memaknainya.
Mereka kuat dan tahan menderita.
Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar
istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai
berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunannya.
a.
Masak
Wanita
atau perempuan Jawa tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan
memberi ‘nutrisi’ dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang ’sehat’.
Dalam aktivitas memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik,
menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi
sebuah ‘makanan’. Ini adalah wujud kasih sayang istri terhadap seluruh
anggota keluarga.
b.
Macak
Macak
adalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai
aktivitas bersolek mempercantik diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi
atau memperindah ‘bangunan’ rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya
memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang, sabar dan mau
bekerja keras.
c.
Manak
Manak
artinya melahirkan anak. Tidak semata proses bekerja sama
dengan suami dalam ‘membuat anak’, mengandung dan melahirkan seorang buah hati.
Akan tetapi mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga
menjadi manusia seutuhnya.
Menurut Ronggowarsito
sedikitnya ada 3 watak perempuan yang jadi pertimbangan laki – laki ketika akan memilih, yaitu :
a. Watak Wedi, menyerah,
pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan
perintah laki-laki dengan sepenuh hati.
b. Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang
diberikan. Banyak sedikit harus
diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang
tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti
ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa
laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
c. Watak Gemati, penuh kasih, Menjaga apa yang disenangi suami lengkap
dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta
segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa
memasak. Betul semua bisa beli,tetapi hasil masakan sendiri adalah sebuah
bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).[5]
3. Peranan Wanita Jawa
Pengertian peran adalah
keikutsertaan secara aktif, partisipasi,ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan.[6]
Pengertian peran dalam wanita jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif sesuai
adat istiadat jawa. Wanita sangat berperan dalam budaya jawa khususnya pada
adat istiadat yang dipergunakan oleh orang jawa.
a.
Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
Dalam budaya jawa, ibu
(wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar
terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh
konsepsi-konsepsi praktis dari masyarakat jawa sendiri, seperti orang tua yang
lebih memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih
bisa ngrumati
(merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika ada
yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.[7]
Walaupun aturan normatif jawa menunjukkan bahwa posisi wanita di bawah
laki-laki (cenderung paternalistik). Misalnya dalam pengambilan keputusan
keluarga anak laki-laki di beri kesempatan lebih besar untuk terlibat daripada
anak perempuan (wanita), atau dalam pembagian warisan berlaku sistem sepikul
segendongan (anak laki-laki mendapat sepertiga, anak wanita mendapat
sepertiga yang diadopsi hukum islam).
Namun dalam pertalian kekerabatan yang menggunakan hitungan baik yaitu dari
garis keturunan bapak maupun ibu (bilateral) sehingga anak laki-laki dan wanita
mendapat warisan yang sama.
b.
Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
Peran wanita jawa
terutama ibu mendapatkan pemujaaan
penuh dari orang-orang jawa.
Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di jawa mengatakan bahwa
sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan,
hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[8]
Sebagai simbol moralitas,
kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung jawab, wanita yang
posisinya sebagi ibu memikul beban idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa
dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan
dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan dirinya menjadi figur
dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil
utama dari suara hati mereka.
Hal tersebut terjadi
karena wanita adalah guru pertama bagi
sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam Rahim,
proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu
menangkap rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar
dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun
merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut merasa
senang. Hingga anak itu lahir dan hingga anak itu tumbuh dewasa.[9]
Oleh sebab itu mengabaikan
atau melawan kebijakan ibu, menyakiti
dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa
menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat
dengan ibu, setia padnya, menjadi
sesutau ynag amat penting untuk menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan
kehendaknya (kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui
perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
c.
Wanita berperan dalam
ketergantungan anak laki-laki
Dalam hal ketergantungan,
biasanya anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita
Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih
mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki
yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita
daripada wanita bergantung pada laki – laki. Hal tersebut menunjukan bahwa
pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
Kualitas hubungan anak
kepada ibu menjadi penanda utama identitas, harga diri, dan sikap moral. Jika
nantinya menikah sang ibu tampaknya masih akan dominan dalam kesadaran anak
laki-laki, boleh jadi pengaruh ibu mengalahkan kehendak istrinya. Atau malah
suami yang bersikap seperti anak sulung kepada istrinya yaitu menjadi semacam
bayi tua. Dalam hati nurani individu
yang bergantung pada orang lain, kesadaran pada ibu akan menjadi sangat
penting. Bahkan sering seorang istri mengambil alih sosok ibu suaminya sebagai
representasi suara hati atau
menjadi sosok yang menempatkan diri sejajar dengan ibu.
d.
Wanita jawa sebagai konco
wingking dan garwa
Di kalangan masyarakat Jawa, perempuan dikenal dengan istilah konco
wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukkan perempuan tempatnya
bukan di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur karena
dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur,
dan kasur. Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan
sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.[10]
Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita sebagai konco
wingking berlaku sebagai kondisi
sak prayoganipun (seyogyanya) atau
ideal bagi budaya jawa. Tampaknya, ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya
berkembang dalam arena publik
orang jawa. Jadi secara publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki
ataupun wanita jawa sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat
wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang
berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan
melihat situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka
lebar kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai
konsep-konsep tersebut. Konco wingking misalnya
menjadi orang yang berada di
belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan.
Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri,
tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya
film itu nanti.
Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat
kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal.
Contohnya, aturan tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam
pembagian gono-gini tersebut diatur bahwa suami mendapat dua bagian sedangkan
istri mendapat satu bagian. Contoh lainnya aturan tentang pembagian harta
warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki
masing-masing akan memperoleh dua bagian. Sedangkan anak wanita mendapat satu
bagian. Contoh lainnya lagi adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara
laki-laki dari pihak bapak.
4.
Ciri Kekuasaan Wanita Jawa
Kekuasaan wanita jawa adalah kemampuan wanita jawa untuk mempengaruhi,
menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan.[11]
Kemampuan wanita untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan
semata-mata pada saat keputusan tersebut diambil, melainkan merupakan sebuah
proses yang panjang dari proses adaptasi, sampai
pada strategi untuk dapat mengambil keputusan.
Kekuasaan wanita jawa adalah kekuatan yang menyelinap serta strategi
yang dilakukan wanita jawa untuk mendapatkan pengaruh merupakan upaya penaklukan
diri ke dalam dengan mengabdi
kepada keluarga.[12] Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa
mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu
menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.
a.
Bermain di Dalam Ruang Kekuasaan
Salah satu ciri yang ada dalam wanita jawa adalah kepasifan dan
ketenangan, tidak menunjukkan gejolak pemberontakan atau penurut. Kekuatan kuat
dari budaya jawa menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan
menghargai laki-laki/suaminya.
Wanita selalu menjaga tata krama sopan santun yang terkadang menjadi jerat
budaya bagi kehidupan sosial masyarakatnya dimana wanita itu sendiri bagian
dari warganya.
Dalam hal ini wanita jawa membangun kekuasaan tidak dengan melawan
kekuasaan tetapi justru bermain di dalam kekuasaan itu sendiri. Ruang kekuasaan
yang tetap menggambarkan sifat kekhasannya yaitu sifat lembut, sabar, kalem,
dan tenang. Mereka tidak melawan dengan konfrontatif, menolak peran yang teklah
diberikan oleh masyarakatnya, dan menuntut peran-peran publik. Namun, mereka terjun langsung
dalam ruang kekuasaan tersebut bahkan sebagai alat
penerapan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan dalam wanita jawa bukan
bersifat publik/formal/impersonal akan tetapi
the personal is political. Kekuasaan justru terjadi di ruang yang paling
pribadi, misalnya di kamar
tidur. Setelah itu kekuasaan terpisah – pisah dalam lingkup mikro (keluarga) dan meluas
ke lingkup makro (publik). Contohnya adalah ibu – ibu yang memiliki jaringan
kuat maka akan pandai bergaul dengan sesama mereka. Tak jarang pula pembicaraan
yang terjadi dengan suaminya dibawa dalam jaringan srawung (bergaul)
tersebut. Hal tersebut akan menentukan kedudukan suaminya di kantor. Sehingga
istri yang tidak pernah srawung bukan hanya dikucilkan, tetapi juga tidak
mendapatkan akses untuk ikut menentukan posisi suami di kantor. Kenyataan empiris
wanita tersebut tidak akan nampak secara formal sehingga kekuasaan atau
kekuatannya cenderung menyelinap diantara celah-celah sempit yang tidak akan
tampak secara publik.
Kekuatan yang
menyelinap ini tumbuh subur dalam kultur jawa yang memiliki konsep bahwa
semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus, konsep halus
dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur kata lembut,
hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain, kalem dan
tenang.
Sehingga berlaku
semakin besar kekuasaan akan semakin eksklusif kekuatan yang berasal dari
dirinya. Seseorang yang berkonsepsi jawa adalah orang yang mampu menyerap sifat
- sifat yang bertentangan di dalam dirinya serta memelihara keseimbangan. Jadi
kekuasaan wanita salah satunya adalah mampu bermain di dalam ruang kekuasaan
tersebut karena sikap feminimnya.
b.
Penaklukan Diri ke Dalam
Ciri lainnya dari kekuasaan wanita jawa adalah dengan
penaklukan diri ke dalam. Pada ciri ini wanita menempatkan pada posisi subordinat
yaitu sebagai pihak yang dikuasai. Disini wanita secara suka rela menyetujui
dan mennerima kekuasaan laki-laki sebagai sesuatu yang wajar. Wanita tidak
pernah mempersoalkan posisi publik yangdikuasai oleh laki-laki. Sebab ada
keyakinan yang tertanam bahwa apiking
suami gumantung ing istri, apiking anak gumantung ibu. Sehingga masyarakat
akan bisa menilai baik buruknya sebai istri atau ibu dengan menyaksikan kiprah
laki-laki dan anak-anaknya di ruang publik.
Namun dalam hal ini wanita jawa mengembangkan
sebuah cara khas untuk mendapatkan kekuasaan dan tetapdapat mempengaruhi sektor
publik tanpa meninggalkan atau melamggar nilai – nilai keutamaan kultur jawa
yaitu prinsip keselarasan, hormat, dan terkendali. Dalam memperoleh kekuasaan
tersebut dilakukan dengan pendalaman dan penghalusan rasa terus menerus.
Strategi tersebut terlihat jelas dalam memangku dan melakukan pengabdian total
kepada keluarga atau suami.
Dalam hal ini suami akan sangat dimengerti oleh
sang istri. Sehingga suami akan sangat merasa aman, nyaman, damai, dan senang
tatkala di rumah. Saat inilah kemudian apapun yang dikehendaki oleh sang istri
akan selalu disetujui oleh suami. Bahkan kalaupun kehendak istri sangat
berkaitan dengan posisi atau kebijakan-kebijakannya dikantor akan tetap diperjuangkan
oleh suami karena kepercayaan penuh suami kepada istrinya.
IV.
KESIMPULAN
-
Wanita
adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula
dia berani ditata atau diatur.
-
Karakteristik
wanita Jawa lebih cenderung ngayomi, lugu,kalem, dan berkarismatik dalam gerak-geriknya. jiwa
wanita Jawa lebih sensitif, lebih dominan dalam kasih sayang, belas kasihan,
murah hati, dan berbagai perasaan lain berkenaan dengan aspek persaannya. Karakter
wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus,
tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi
nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, pengendalian diri
tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara
ekonomi, dan setia/ loyalitas tinggi.
-
Peranan
wanita jawa yaitu sebagai posisi
sentral, wanita berperan
dalam keharmonisan dan kedekatan, wanita
berperan dalam ketergantunagan anak laki-laki.
-
Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung
dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan
didiknya ke dalam keluarga.
V.
PENUTUP
Demikian penjelasan dalam
makalah ini, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk makalah kami yang selanjutnya
agar dalam pembuatan makalah berikutnya akan menjadi lebih baik. Dan
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori, Islam
dan Kebuyaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media,2000
Handayani
Christina dan Ardhian Novianto, Kuasa
Wanita Jawa,Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara, 2004
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: CV
Jambatan, 1999
Musthafa Ibnu, Wanita Islam menjelang Tahun 2000,
Bandung: Al-Bayan, 1990
Sukri, Sri Suhandjati, dkk, Perempuan dan
Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001
VI.
BIODATA PEMAKALAH
A.
Nama : Okta Dwi Ratnasari
NIM : 113211070
TTL : Kendal, 26 Oktober
1991
Alamat : Kp. Sabranglor Barat
Rt/w: 04/06 kutoharjo, kec. Kaliwungu, Kendal, Semarang 51372
Pendidikan
SD : SDN 03 Krajan Kulon
SMP : SMPN 01 Brangsong
MA : Pondok Modern
Darussalam Gontor, JATIM
PT : IAIN WaliSongo
Semarang
Hobi : Menggambar, letter,
main musik
Email : octadwiratnasari@yahoo.co.id
Fb : Octa STWN
Hp : 081 838 8540
B.
Nama : Rif’atis Sa’adah
NIM : 113211071
TTL : Batang, 20 Oktober 1992
Alamat : Dk. Johosari Rt 05 Rw 05 Desa Kandeman, Batang
Pendidikan
SD : SD N Kauman 05 Batang
SMP : MTs. Darul Amanah Sukorejo-Kendal
SMA : MA N Batang
PT : IAIN WaliSongo
Semarang
Hobi : Membaca, mendengarkan musik
Email : riefa_ririef@yahoo.com
Fb : Rififa atsa
Hp : 085642727779
C.
Nama : Syawa’iqul Muhriqoh Zain
Nim : 113211077
TTL :
Alamat :
Pendidikan
SD :
SMP :
SMA :
PT : IAIN WaliSongo
Semarang
Hobi :
Email :
Fb :
Hp :
[1]
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[2]
KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia)
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,
Jakarta : CV Jambatan, 1999, hlm. 64
[4]
Ibnu Musthafa, Wanita Islam menjelang Tahun 2000,
Bandung: Al-Bayan, 1990, hlm.56
[6]
KBBI
[7] Christina S. Handayani dan Ardhian
Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yogyakarta:
PT LKIS pelangi aksara, 2004, hal.42
[9] M.Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa,
Yogyakarta : Gama Media, 2000, hlm.45.
[10] Sri Suhandjati sukri, dkk, Perempuan dan Seksualitas
dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2001, hlm. 6.