Rabu, 24 April 2013

MAKALAH WANITA DALAM BUDAYA JAWA


Wanita dalam Budaya Jawa

I.                   PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan makhluknya yaitu laki-laki dan perempuan dengan posisi yang sama, namun pemahaman tentang kewanitaan selalu menarik perhatian, bukan karena keanggunan dan kelemah lembutannya yang menawan, tetapi  karena perlakuan terhadap dirinya tidak menempatkannya sebagai sesama ciptaan. Hampir disetiap panjang sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan bangsa apapun, pada tingkat kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai insan kelas dua.
Wanita sebagai hamba Allah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.  Tanpanya,  kehidupan  tidak  akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah terhenti beribu – ribu  abad  yang  lalu.  Oleh  sebab  itu,  wanita  tidak  bisa  diremehkan  dan  di abaikan,  karena  dibalik  semua  keberhasilan  dan  kontinuitas  kehidupan,  di situ ada wanita.
      Menjadi perempuan atau wanita di “bumi manusia” ini secara umum cukup menggemaskan. Padahal menjadi wanita atau laki-laki bukanlah sebuah pilihan, melainkan dititiskan oleh tuhan tanpa campur tangan umatnya.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi wanita ?
2.      Bagaimana karakteristik wanita Jawa ?
3.      Bagaimana peranan wanita Jawa ?
4.      Bagaimana ciri kekuasaan wanita  Jawa ?

III.             PEMBAHASAN
1.      Definisi Wanita
Wanita adalah perempuan dewasa,kaum.[1] Wanita adalah perempuan dewasa.[2] Dalam masyarakat  jawa wanita berasal dari kata wani yang berarti berani, dan ditata yaitu diatur. Wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur . Jadi wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia berani ditata atau diatur.
Menurut ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar mengungkapkan bahwa wanita berasal dari kata wani yaitu berani tapa yaitu menderita. Artinya wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain.
Pada dasarnya wanita dalam pengertian perempuan dewasa merupakan sosok yang mampu menyelesaikan masalahnya, mampu berfikir logis, juga siap dengan tugas-tugas sebaimana seorang wanita pada umumnya. Wanita bukan lagi seorang perempuan sebagaimana sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun wanita disini telah mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tugas-tugas yang di embannya yang mana nanti akan menuju pada kodratnya yaitu sebagai ibu rumah tangga.
Keluarga dan masyarakat Jawa mempunyai pandangan dan harapan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan masyarakat dan pengasuhan orang tua yang telah mereka tanamkan sejak mereka bayi. Bahkan hal ini menjadi sangat kuat di bidang prioritas pendidikan yang lebih tinggi, dengan anggapan anak laki-laki kelak akan mendapatkan pekerjaan, peran dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan kelak akan mengasuh dan mengurus rumah tangga (Goode, 1997). Hal yang senada juga dikatakan oleh De Jong (1976) yang menuturkan bahwa seperti layaknya dalam keluarga Jawa, lingkungan keluarga dan masyarakat juga lebih memprioritaskan kesempatan dan fasilitas bagi anak laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya daripada anak perempuanya.[3]

2.      Karakteristik wanita Jawa
Secara fisis dan biologis, seorang wanita diciptakan untuk tujuan-tujuan ”menciptakan” dalam kehidupan. Mau atau tidak mau ia dituntut untuk memenuhi kecendrungan itu. Alexis Carrel, seorang fisiolog, biolog, dan ahli bedah terkenal, dalam bukunya yang berjudul “Man the Unknow”, mengatakan bahwa perbedaan antara pria dan wanita bukan hanya terletak pada bentuk kelamin masing-masing, bukan hanya karena adanya uterus kehamilan, dan bukan pula karena modus pendidikan.  Perbedaaan itu lebih fundamental sifatnya, yakni karena adanya susunan jaringan – jaringan dan perbedaan dalam pengisian seluruh organisme dengan zat-zat kimia yang diserap oleh indung telur. Setiap butir sel tubuh wanita mengandung cirri jenis kelaminnya. Demikian pula dengan organ-organ tubuh wanita, terutama system sarafnya.
Alam telah menganugerahi wanita dengan kecantikan, keanggunan, sikap acuh tak acuh, Disamping watak lebih membutuhkan, mencintai, dan merayu pria. Kelemahan fisik wanita konsekuensi dari kekuatan perasaannya diserasikan dengan kekuatan fisik pria yang karenanya pria berwatak melindungi dan selalu mengambil inisiatif dalam melamar wanita. [4]
Sebenarnya karakteristik yang mendasar dari wanita Jawa tidak jauh berbeda dengan wanita pada umumnya, hanya terletak pada nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan norma yang ada di masyarakat Jawa. Wanita diciptakan sesuai kodratnya. Demikian juga, wanita Jawa lebih cenderung ngayomi, lugu,kalem, dan  berkarismatik dalam gerak-geriknya. Dia juga sebagai pembimbing, secara psikologis, ia akan mewariskan kemampuan-kemampuannya kepada anak -anaknya. Karena dalam hal ini, jiwa wanita Jawa lebih sensitif, lebih dominan dalam kasih sayang, belas kasihan, murah hati, dan berbagai perasaan lain berkenaan dengan aspek perasaannya.
Seperti juga karakter laki-laki, karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi.
Terutama di daerah pedesaan, banyak ditemukan wanita Jawa yang selain mempunyai ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik yang kuat. Mereka terbiasa bekerja keras secara fisik, misalnya mencari rumput untuk pakan ternak (ngarit), memanggul padi hasil panen, atau menggendong dodolan (barang – barang dagangan) dan masih harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya, wanita Jawa mempunyai kebiasaan untuk bangun paling pagi dan tidur paling akhir, sementara sepanjang hari mengurus rumah. Meski tetap harus berjualan di pasar, ia masih juga menyiapkan makan untuk suami dan anak-anaknya. Jarang ditemukan wanita Jawa yang manja dan tidak mau bekerja. Seorang wanita Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan dan pintar pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita.
Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunannya.
a.       Masak
Wanita atau perempuan Jawa  tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan memberi ‘nutrisi’ dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang ’sehat’. Dalam aktivitas memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi sebuah ‘makanan’. Ini adalah  wujud kasih sayang istri terhadap seluruh anggota keluarga.
b.      Macak
Macak adalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah ‘bangunan’ rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang,  sabar dan mau bekerja keras.
c.        Manak
Manak artinya melahirkan anak.  Tidak semata proses bekerja sama dengan suami dalam ‘membuat anak’, mengandung dan melahirkan seorang buah hati. Akan tetapi mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
Menurut  Ronggowarsito sedikitnya ada 3 watak perempuan yang jadi pertimbangan lakilaki ketika akan memilih, yaitu :
a.       Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati.
b.      Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
c.       Watak Gemati, penuh kasih, Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli,tetapi hasil masakan sendiri  adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).[5]
3.      Peranan Wanita Jawa
Pengertian peran adalah keikutsertaan secara aktif, partisipasi,ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan.[6] Pengertian peran dalam wanita jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif sesuai adat istiadat jawa. Wanita sangat berperan dalam budaya jawa khususnya pada adat istiadat yang dipergunakan oleh orang jawa.
a.    Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
Dalam budaya jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis dari masyarakat jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa ngrumati (merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.[7]
Walaupun aturan  normatif  jawa menunjukkan bahwa posisi wanita di bawah laki-laki (cenderung paternalistik). Misalnya dalam pengambilan keputusan keluarga anak laki-laki di beri kesempatan lebih besar untuk terlibat daripada anak perempuan (wanita), atau dalam pembagian warisan berlaku sistem sepikul segendongan (anak laki-laki mendapat sepertiga, anak wanita mendapat sepertiga yang diadopsi hukum islam). Namun dalam pertalian kekerabatan yang menggunakan hitungan baik yaitu dari garis keturunan bapak maupun ibu (bilateral) sehingga anak laki-laki dan wanita mendapat warisan yang sama.
b.   Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
Peran wanita jawa terutama ibu mendapatkan pemujaaan  penuh  dari orang-orang jawa. Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di jawa mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan, hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[8]
Sebagai simbol moralitas, kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung jawab, wanita yang posisinya sebagi ibu memikul beban idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan dirinya menjadi figur dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
Hal tersebut terjadi karena wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam Rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut merasa senang. Hingga anak itu lahir dan hingga anak itu tumbuh dewasa.[9]
Oleh sebab itu mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat dengan ibu, setia padnya, menjadi sesutau ynag amat penting untuk menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya (kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
c.     Wanita berperan dalam ketergantungan anak laki-laki
Dalam hal ketergantungan, biasanya anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita daripada wanita bergantung pada laki – laki. Hal tersebut menunjukan bahwa pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
Kualitas hubungan anak kepada ibu menjadi penanda utama identitas, harga diri, dan sikap moral. Jika nantinya menikah sang ibu tampaknya masih akan dominan dalam kesadaran anak laki-laki, boleh jadi pengaruh ibu mengalahkan kehendak istrinya. Atau malah suami yang bersikap seperti anak sulung kepada istrinya yaitu menjadi semacam bayi tua. Dalam hati nurani individu  yang bergantung pada orang lain, kesadaran pada ibu akan menjadi sangat penting. Bahkan sering seorang istri mengambil alih sosok ibu suaminya sebagai representasi suara hati atau menjadi sosok yang menempatkan diri sejajar dengan ibu.
d.   Wanita jawa sebagai konco wingking dan garwa
Di kalangan masyarakat Jawa, perempuan dikenal dengan istilah konco wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukkan perempuan tempatnya bukan di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur karena dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur, dan kasur. Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.[10]
Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita sebagai konco wingking berlaku sebagai kondisi sak prayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya jawa. Tampaknya, ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya berkembang dalam arena publik orang jawa. Jadi secara publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki ataupun wanita jawa sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
 Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan melihat situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka lebar kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai konsep-konsep tersebut. Konco wingking misalnya menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan. Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film itu nanti.
Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal. Contohnya, aturan tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian gono-gini tersebut diatur bahwa suami mendapat dua bagian sedangkan istri mendapat satu bagian. Contoh lainnya aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing akan memperoleh dua bagian. Sedangkan anak wanita mendapat satu bagian. Contoh lainnya lagi adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak.

4.      Ciri Kekuasaan Wanita Jawa
Kekuasaan wanita jawa adalah kemampuan wanita jawa untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan.[11] Kemampuan wanita untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat keputusan tersebut diambil, melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi, sampai pada strategi untuk dapat mengambil keputusan.
Kekuasaan wanita jawa adalah kekuatan yang menyelinap serta strategi yang dilakukan wanita jawa untuk mendapatkan pengaruh merupakan upaya penaklukan diri ke dalam dengan mengabdi kepada keluarga.[12]  Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.
a.      Bermain di Dalam Ruang Kekuasaan
Salah satu ciri yang ada dalam wanita jawa adalah kepasifan dan ketenangan, tidak menunjukkan gejolak pemberontakan atau penurut. Kekuatan kuat dari budaya jawa menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan menghargai laki-laki/suaminya. Wanita selalu menjaga tata krama sopan santun yang terkadang menjadi jerat budaya bagi kehidupan sosial masyarakatnya dimana wanita itu sendiri bagian dari warganya.
Dalam hal ini wanita jawa membangun kekuasaan tidak dengan melawan kekuasaan tetapi justru bermain di dalam kekuasaan itu sendiri. Ruang kekuasaan yang tetap menggambarkan sifat kekhasannya yaitu sifat lembut, sabar, kalem, dan tenang. Mereka tidak melawan dengan konfrontatif, menolak peran yang teklah diberikan oleh masyarakatnya, dan menuntut peran-peran publik. Namun, mereka terjun langsung dalam ruang kekuasaan tersebut bahkan sebagai alat penerapan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan dalam wanita jawa bukan bersifat publik/formal/impersonal akan tetapi the personal is political. Kekuasaan justru terjadi di ruang yang paling pribadi, misalnya di kamar tidur. Setelah itu kekuasaan terpisah – pisah dalam lingkup mikro (keluarga) dan meluas ke lingkup makro (publik). Contohnya adalah ibu – ibu yang memiliki jaringan kuat maka akan pandai bergaul dengan sesama mereka. Tak jarang pula pembicaraan yang terjadi dengan suaminya dibawa dalam jaringan srawung (bergaul) tersebut. Hal tersebut akan menentukan kedudukan suaminya di kantor. Sehingga istri yang tidak pernah srawung bukan hanya dikucilkan, tetapi juga tidak mendapatkan akses untuk ikut menentukan posisi suami di kantor. Kenyataan empiris wanita tersebut tidak akan nampak secara formal sehingga kekuasaan atau kekuatannya cenderung menyelinap diantara celah-celah sempit yang tidak akan tampak secara publik.
Kekuatan yang menyelinap ini tumbuh subur dalam kultur jawa yang memiliki konsep bahwa semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus, konsep halus dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur kata lembut, hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain, kalem dan tenang.
Sehingga berlaku semakin besar kekuasaan akan semakin eksklusif kekuatan yang berasal dari dirinya. Seseorang yang berkonsepsi jawa adalah orang yang mampu menyerap sifat - sifat yang bertentangan di dalam dirinya serta memelihara keseimbangan. Jadi kekuasaan wanita salah satunya adalah mampu bermain di dalam ruang kekuasaan tersebut karena sikap feminimnya.
b.      Penaklukan Diri ke Dalam
 Ciri lainnya dari kekuasaan wanita jawa adalah dengan penaklukan diri ke dalam. Pada ciri ini wanita menempatkan pada posisi subordinat yaitu sebagai pihak yang dikuasai. Disini wanita secara suka rela menyetujui dan mennerima kekuasaan laki-laki sebagai sesuatu yang wajar. Wanita tidak pernah mempersoalkan posisi publik yangdikuasai oleh laki-laki. Sebab ada keyakinan yang tertanam bahwa apiking suami gumantung ing istri, apiking anak gumantung ibu. Sehingga masyarakat akan bisa menilai baik buruknya sebai istri atau ibu dengan menyaksikan kiprah laki-laki dan anak-anaknya di ruang publik.
Namun dalam hal ini wanita jawa mengembangkan sebuah cara khas untuk mendapatkan kekuasaan dan tetapdapat mempengaruhi sektor publik tanpa meninggalkan atau melamggar nilai – nilai keutamaan kultur jawa yaitu prinsip keselarasan, hormat, dan terkendali. Dalam memperoleh kekuasaan tersebut dilakukan dengan pendalaman dan penghalusan rasa terus menerus. Strategi tersebut terlihat jelas dalam memangku dan melakukan pengabdian total kepada keluarga atau suami.
Dalam hal ini suami akan sangat dimengerti oleh sang istri. Sehingga suami akan sangat merasa aman, nyaman, damai, dan senang tatkala di rumah. Saat inilah kemudian apapun yang dikehendaki oleh sang istri akan selalu disetujui oleh suami. Bahkan kalaupun kehendak istri sangat berkaitan dengan posisi atau kebijakan-kebijakannya dikantor akan tetap diperjuangkan oleh suami karena kepercayaan penuh suami kepada istrinya.



IV.             KESIMPULAN

-            Wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu pula dia berani ditata atau diatur.
-            Karakteristik wanita Jawa lebih cenderung ngayomi, lugu,kalem, dan  berkarismatik dalam gerak-geriknya. jiwa wanita Jawa lebih sensitif, lebih dominan dalam kasih sayang, belas kasihan, murah hati, dan berbagai perasaan lain berkenaan dengan aspek persaannya. Karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/ loyalitas tinggi.
-            Peranan wanita jawa yaitu sebagai posisi sentral, wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan, wanita berperan dalam ketergantunagan anak laki-laki.
-            Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.


V.                PENUTUP
Demikian penjelasan dalam makalah ini, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk makalah kami yang selanjutnya  agar dalam pembuatan makalah berikutnya akan menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat bagi kita semua.






DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori, Islam dan Kebuyaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media,2000
Handayani Christina dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara, 2004
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: CV Jambatan, 1999
Musthafa Ibnu, Wanita Islam menjelang Tahun 2000, Bandung: Al-Bayan, 1990
Sukri, Sri Suhandjati, dkk, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001

















VI.             BIODATA PEMAKALAH
A.    Nama         : Okta Dwi Ratnasari
NIM          : 113211070
TTL           : Kendal, 26 Oktober 1991
Alamat      : Kp. Sabranglor Barat Rt/w: 04/06 kutoharjo, kec. Kaliwungu, Kendal, Semarang 51372
Pendidikan
SD             : SDN 03 Krajan Kulon
SMP          : SMPN 01 Brangsong
MA            : Pondok Modern Darussalam Gontor, JATIM
PT              : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi          : Menggambar, letter, main musik
Email         : octadwiratnasari@yahoo.co.id
Fb              : Octa STWN
Hp             : 081 838 8540
B.     Nama         : Rif’atis Sa’adah
NIM          : 113211071
TTL           : Batang, 20 Oktober 1992
Alamat      : Dk. Johosari Rt 05 Rw 05 Desa Kandeman, Batang
Pendidikan
SD             : SD N Kauman 05 Batang
SMP          : MTs. Darul Amanah Sukorejo-Kendal
SMA         : MA N Batang
PT              : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi          : Membaca, mendengarkan musik
Email         : riefa_ririef@yahoo.com
Fb              : Rififa atsa
Hp             : 085642727779       
C.     Nama         : Syawa’iqul Muhriqoh Zain
Nim           : 113211077
TTL           :
Alamat      :
Pendidikan
SD             :
SMP          :
SMA         :
PT              : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi          :
Email         :
Fb              :
Hp             :




[1] KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[2] KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia)
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta : CV Jambatan, 1999, hlm. 64
[4] Ibnu Musthafa, Wanita Islam menjelang Tahun 2000, Bandung: Al-Bayan, 1990, hlm.56
[6] KBBI
[7] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara, 2004, hal.42
[8] Opcit, hal 42
[9] M.Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2000, hlm.45.
[10] Sri Suhandjati sukri, dkk, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2001, hlm. 6.
[11] Opcit,hal. 25
[12] Opcit,hal. 202

1 komentar:

  1. Las Vegas, NV Jobs - JTG Hub
    Job TitleCompanyLocationDate of 강원도 출장샵 EmployeeFounded DateofEmployeeLocation 화성 출장안마 of Establishment at Harrah's Las Vegas, NV 89109Phone 안동 출장샵 NumberCompanyPhone +1 화성 출장마사지 702 770 77033United StatesView 7 more rows 경상남도 출장안마

    BalasHapus